Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

jumlah pengunjung hari ini

Kamis, Februari 05, 2009

Perjanjian Roem Royen

PERJANJIAN ROEM - ROYEN

Meskipun telah melakukan perundingan dengan Indonesia , Belanda terus melakukan pengepungan dan blokade .
Belanda juga melanjutkan mendirikan negara - negara boneka , misalnya negara Pasundan ( 20 Februari 1948 ) dan negara Jawa Timur ( 16 November 1948 ) . Selanjutnya , Belanda mengusulkan di bentuknya pemerintahan sementara ad interim . Oleh karena pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan jawaban , Dr Beel sebagai pengganti Van MOOK merasa tidak terikat lagi oleh perjanjian RENVILLE dan melancarkan Agresi Militer ll pada tanggal 1948 .
Akhirnya , pihak Indonesia - Belanda mengadakan pendekatan sebagai kelanjutan dari Perjanjian Renville . Setelah diadakan pembicaraan berulang kali di bawah pengawasan KTN, Indonesia dan Belanda kembali mengadakan perundingan . Indonesia diwakili oleh Mr. Muh. Roem dan Belanda diwakili oleh Dr. Van Royen .
Naskah perundingan di tanda tangani pada 7 mei 1949 . Isi pokoknya ialah kedua belah pihak setuju dan akan hadir dalam Konferensi Meja Bundar yang akan diselenggarakan di Den Haag , Belanda , pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949 .

1. Perjanjian Bongaya, tahun 1666.
Isi : Raja Hasanuddin dari Makassar menyerah kepada VOC

2. Perjanjian Jepara, tahun 1676.
Isi : Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC menangk dalam pemberontakan Trunojoyo

3. Perjanjian Gianti, tahun 1755.
Isi : Kerajaan mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu Yogyakarta dan Surakarta.

4. Perjanjian Salatiga, tahun 1757.
Isi : Surakarta dibagi menjadi dua bagian yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran.

5. Perjanjian Kalijati, tahun 1942.
Isi : Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

6. Perjanjian Linggarjati, tanggal 25 Maret 1947.
Isi :
- Belanda mengakui kedaulatan RI atas Sumatra, Jawa, dan Madura.
- Belanda dan RI akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat.

7. Perjanjian Renville, tanggal 17 Januari 1948.
Isi : RI mengakui daerah-daerah yang diduduki Belanda pada agresi 1 menjadi daerah Belanda.

8. Perjanjian Roem Royen, tanggal 7 Mei 1949.
Isi :
- Pemerintah Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta.
- Indonesia dan Belanda akan segera mengadakan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).

9. Pernjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), tanggal 23 Agustus 1949
Isi :
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
- Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

10. Perjanjian New York, tanggal 15 Agustus 1962.
Isi :
- Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB.
- Akan diadakan penentuan pendapat masyarakat Irian Barat.

11. Perjanjian Bankgok, tanggal 11 Agustus 1966.
Isi : RI menghentikan konfrontasi dengan Malaysia.

Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Lebih Menguntungkan Singapura

Buletin AL-ISLAM Edisi 353

Setelah menunggu selama hampir tiga puluh tahun, Pemerintah Indonesia dan Singapura akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi. Penandatanganan naskah dokumen perjanjian ini dilakukan oleh Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, dan Menlu Singapura, George Yeouh, di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, Jumat (27/4). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Singapura, Lee Hsien Loong, hadir menyaksikan penandatanganan itu. Selain ekstradisi, juga ditandatangani perjanjian kerjasama pertahanan (defence cooperation agreement, DCA) dan kerangka pengaturan tentang daerah latihan militer bersama (military training area, MTA). Dua perjanjian terakhir ditandatangani oleh Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata kedua negara.

Pemerintah Indonesia berkesimpulan bahwa perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangi tersebut menguntungkan. Hal ini disandarkan pada isi perjanjian yang mencakup 31 tindak kejahatan dan pidana dalam perjanjian ekstradisi. Di antaranya tindak pidana ekonomi, penyuapan, dan tindak pidana korupsi lainnya; seperti pemalsuan uang, kejahatan perbankan, pelanggaran hukum perusahaan dan hukum kepailitan. Perjanjian itu berlaku surut 15 tahun setelah disahkan. Dengan pijakan di atas, Pemerintah Indonesia berharap banyak bisa mengambil aset Indonesia yang dibawa kabur oleh konglomerat hitam ke Singapura dengan total lebih dari 1.300 triliun rupiah. Selain itu, Pemerintah juga berharap agar bisa menyeret para pengemplang tersebut ke meja hijau untuk diadili secara hukum dan atau menghukum yang sudah diadili secara in absentia.Namun, benarkah perjanjian-perjanjian tersebut lebih menguntungkan Pemerintah Indonesia? Mampukah Pemerintah Indonesia menyeret konglomerat hitam, menghukumnya serta mengambil kembali aset rakyat? Apakah pemerintah Singapura yang justru diuntungkan? Adakah tekanan dari Pemerintah Singapura terkait dengan perjanjian ekstradisi ini?

Beda Persepsi Akan Lain Hasilnya

Dengan perjanjian ekstradisi tersebut Pemerintah Indonesia akan segera mengejar dan menangkap para koruptor yang membawa kabur aset negara ke Singapura. Upaya Pemerintah Indonesia untuk menangkap para koruptor kelihatannya tidak bisa berjalan dengan mudah. Sebab, Pemerintah Indonesia dan Singapura berbeda dalam mendefinisikan tentang apa itu korupsi. Padahal di sinilah letak permasalahannya. Pemerintah Singapura mendefinisikan korupsi sebagai suap, sementara Indonesia mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan memperkaya seseorang atau institusi.

Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin, tatkala ditanya wartawan terkait dengan perbedaan pandangan ini, mengatakan dengan nada diplomatis bahwa hal itu ada dalam pembahasan selama ini. “Kita tunggu setelah penandatanganan perjanjian,” imbuhnya. (Republika.co.id, 27/4/2007).

Kendala lain adalah tidak adanya jaminan dari pemerintah Singapura akan tetap menahan para tersangka korupsi untuk tetap bertahan dan berada di Singapura hingga mereka tertangkap. Dengan tidak adanya jaminan ini tentu pemerintah Indonesia akan kembali kesulitan menangkap mereka. Apalagi saat ini diduga—sebelum penandatanganan perjanjian ekstradisi—para konglomerat hitam telah kabur keluar dari Singapura. Pemerintah Singapura juga tak bisa mencegah pelarian aset atau pelaku korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya asal Indonesia keluar Singapura. Kalau masih ada yang menetap di Singapura, proses ekstradisi mereka juga sangat bergantung pada sistem yang ada di Singapura. Perbedaan ini tentu akan menjadi kendala tersendiri. Bisa jadi apa yang diharapkan oleh Pemerintah Indonesia tidak pernah terlaksana karena perbedaan persepsi ini.

Kendala lain, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak akan menjamin pengembalian atau pemulihan (recovery) aset Indonesia jika Singapura belum menandatangani Konvensi PBB tahun 2003 tentang Antikorupsi. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko. “Ektradisi tidak cukup jika tidak disertai ratifikasi konvensi PBB,” katanya. Dalam konvensi PBB tersebut, khususnya yang mengatur tentang pemulihan aset, dinyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian aset. Dalam hal ini, kata Danang, Singapura bisa saja berkelit untuk tidak mengembalikan aset Indonesia yang berada di negara tersebut karena Singapura belum menandatangani Konvensi PBB.

Lebih Menguntungkan Singapura

Jika diteliti, dengan perjanjian ini, sebenarnya yang lebih diuntungkan adalah pemerintah Singapura daripada Indonesia. Pertama: di sisi pertahanan. Melalui paket perjanjian (defence cooperation agreement, DCA dan military training area, MTA) Singapura mendapatkan keuntungan berupa fasilitas latihan militer yang menjadi solusi atas minimnya lahan Singapura yang bahkan tak mampu menampung pesawat tempur mereka. Kita tahu, Singapura adalah negara kecil dengan kemampuan tempur yang besar. Ketersediaan lahan untuk parkir seluruh armada dan perlengakapan tempurnya serta lahan untuk latihan militer adalah hal yang mutlak diperlukan. Jika Pemerintah Indonesia menyediakan lahan untuk itu semua, berarti Indonesia dengan sengaja ikut menyokong kekuatan militer Singapura.

Kondisi ini tentu tidak boleh terjadi. Sebab, kita tahu bahwa Singapura adalah sekutu dekat AS. Jika militer Singapura kuat, akan kuat pula negara itu sebagai kepanjangan tangan AS. Dengan kata lain, semakin kuatnya Singapura akan semakin memperkuat hegemoni AS di sekitar Indonesia. Tidakkah kita ingat bagaimana pemerintah Singapura senantiasa ’mengobok-obok’ Indonesia dengan isu-isu terorisme yang menyesatkan? Selain itu, Singapura mendapat keuntungan dalam penanganan aksi terorisme. Dengan perjanjian ini pemerintah Singapura mendapat akses lebih luas lagi; bisa mengintervensi lebih jauh penanganan terorisme ala AS. Di sisi lain, pemerintah Singapura dapat meminta latihan bersama dengan pihak ketiga dalam penggunaan wilayah latihan itu. Kita tahu, Singapura adalah sekutu AS dan sudah sejak lama melibatkan militer AS dalam latihan-latihan tempurnya. Dengan fasilitas ini, tentu pihak ketiga (AS) akan mendapat jalan dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa ada perlawanan, karena telah dilindungi secara hukum oleh perjanjian tersebut. Walau harus terlebih dulu mendapat persetujuan dari Indonesia, masalahnya adalah, apakah pemerintah Indonesia bisa menolak keinginan AS? Bukankah selama ini pemerintah Indonesia sudah tunduk kepada AS?

Kedua: di sisi ekonomi. Dengan perjanjian yang ada, dikesankan Singapura akan mengalami kerugian ekonomi yang luar biasa. Dikatakan, dana para koruptor yang tercatat berjumlah 1.300 triliun—belum yang tidak tercatat—dan diparkirkan di lembaga keuangan Singapura akan hilang dan ’mengejutkan’ perekonomian Singapura. Pandangan ini dibantah oleh Menteri Penasehat Singapura, Lee Kuan Yew. Keuangan Singapura tidak terbangun dari uang yang berasal dari Indonesia, dan mereka tidak perlu menyimpan uangnya di sini, meskipun beberapa dari mereka melakukan itu, tegas Lee. Ia mengatakan dana yang terkumpul dalam industri perbankan Singapura berasal dari beberapa negara, termasuk Cina, India, Eropa dan Timur Tengah. “Dana yang berasal dari Indonesia tak melebihi 2-3 persen dari keseluruhan uang industri perbankan,” katanya. (Republika.co.id., 25/4/2007).

Alasan utama Singapura menandatangani paket perjanjian ini adalah ingin mengeruk kekayaan dan potensi ekonomi Indonesia khususnya di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun. Sebab, tepat sebelum penandatanganan ekstradiksi, DCA, dan MTA, Singapura telah terlebih dulu menandatangani perjanjian kawasan berikat (special economic zone) Batam, Bintan, dan Karimun. Perjanjian itu akan memberikan ruang bagi Singapura membangun daerah industri di wilayah Indonesia, sementara Indonesia hanya mendapatkan pajak dan mengurangnya pengangguran. Inilah sebenarnya tujuan utama Singapura.