Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

jumlah pengunjung hari ini

Kamis, Januari 29, 2009

Tragedi Lumpur Lapindo

TRAGEDI LUMPUR LAPINDO

Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.5

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,6 rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.

Penyebab Semburan ’Lumpur Lapindo’ (juga : Mengapa Lumpur Panas Menyembur)

Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.7 Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.8 Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.9 Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989) yang berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu 6.3 Mw seharusnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.10 Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.11 Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran.12 Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.14

Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.15 Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.16

Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.17

Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran.19

Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.

Solusi Islam atas Kasus Lapindo

Paham kepemilikan telah menjadi polemik para ekonom. Para ekonom kapitalis seperti digambarkan Hessen,20 berpendapat bahwa jika seluruh kepemilikan bertumpu pada individu (economic individualism) akan membuat suatu kompetisi penuh, yang digambarkan Adam Smith sebagai ’sistem sederhana dari kebebasan alamiah’. Namun, dari perjalanan Kapitalisme mulai revolusi industri hingga sekarang, banyak borok-borok yang ditimbulkan dari paham kepemilikan privat ini. Lawannya jelas ekonom sosialis, seperti digambarkan Heilbroner,21 bahwa seluruh kepemilikan dipegang oleh negara. Dalam perjalanan, paham ini juga bukan tanpa masalah, karena kepemilikan negara direpresentasikan oleh ’pejabat negara’ yang boleh mengeksplotasi ’warga negara’ karena tidak ada hak kepemilikan privat dalam paham ini. Masalah pun muncul.

Berbagai ramuan dan gado-gado dari kedua paham tersebut menjadi alternatif yang diajukan. Lalu diuji coba, sebuah trial yang hasilnya senantiasa error. Ekonomi neo-liberal, bersifat kerakyatan berkeadilan sosial muncul. Namun, semua tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus Indonesia, pengelolaan SDA jelas tergambar dalam pasal 33 UUD 1945. Namun, Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada dipergunakan oleh ’oknum negarawan’ untuk menjual negara. Dalam banyak kajian diakui bahwa paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar (underlying causes) kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia.22 Lantas muncul tuntutan, supaya dikembalikan pada pengelolaan komunitas (communal right) seperti masyarakat adat, warga setempat, atau otonomi daerah.23 Namun, hal itu sebenarnya akan menjadi masalah baru yang disebut Hardin24 sebagai “tragedy of the commons”, karena pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka (open access) sehingga rentan over eksploitasi.

Islam menjawab itu semua, dengan konsep kepemilikan yang jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan umum (collective property); dan kepemilikan negara (state property). Khusus berkenaan dengan kepemilikan umum, yaitu seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim, dan menjadikan kekayaan tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Zallum25) mengelompokkan dalam tiga jenis: (1) sarana umum yang diperlukan seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll; (2) kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll; (3) barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat seperti emas atau besi, cair seperti minyak bumi atau gas seperti gas alam. Rasulullah saw. Bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلأِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput/hutan dan api/energi. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasi diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah selaku pemimpin negara bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Dalam konsep Islam, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara tidak akan menjadi pengkhianat rakyat, namun justru menjadi pelindung bagi rakyatnya.

BENCANA NASIONAL GEMPA - TSUNAMI ACEH

Gempa di Aceh yang diikuti tsunami dengan puluhan ribu korban jiwa dan

kerugian materi yang tak terhitung, untuk kesekian kalinya

menghenyakkan kesadaran dan mengguncang jiwa kita. Gempa yang mulai

terjadi hari Minggu 26 Desember 2004 tersebut sampai saat ini masih

terus berkelanjutan dengan gempa-gempa susulannya. Hingga hari ini =E2=80=

=93

tanggal 29 Desember 2004 - sudah tercatat getaran-getaran dengan

kekuatan 5-9 Skala Richter sebanyak 40 kali, dan belum jelas terlihat

tanda-tanda kapan akan berhenti.

Kita semua menundukkan kepala, kita semua berduka, kita semua

menangis. Tapi tangisan dan keprihatinan saja tidak cukup dalam

menyikapi sebuah bencana. Diperlukan langkah nyata berbasis alasan

ilmiah yang cukup agar didapat gerak yang efektif dalam menanggulangi

dan sekaligus bersiap mengantisipasinya lagi di masa depan. Sudah

saatnya kita menangani bencana tidak hanya dengan mengandalkan naluri

charitas belaka.

Kondisi geologi Indonesia yg merupakan pertemuan lempeng-lempeng

tektonik menjadikan kawasan Indonesia ini memiliki kondisi geologi

yang sangat kompleks. Selain menjadikan wilayah indonesia ini kaya

akan sumberdaya alam, salah satu konsekuensi logis kekompleksan

kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah-daerah di Indonesia

memiliki tingkat kerawanan yg tinggi terhadap bencana alam. Beberapa

diantaranya adalah rawan gempa bumi, tsunami serta rawan letusan

gunung api disepanjang "ring of fire" dari Sumatra - Jawa - Bali - Nusatenggara -Banda - Maluku. Pemahaman akan resiko tinggal didaerah dengan kerawanan bencana tinggi ini semoga tidak menjebak kita pada pemikiran sempit bahwa kita sedang memang menjalani "takdir hitam". Alam selalu bertindak jujur, adil, berjalan dengan aturan, rambu-rambu dan petunjuk, tanda-tanda yang amat jelas bagi yang bersedia memahaminya dengan tawadlu' dan kerendahan hati.

Daerah rawan bencana gempa dan tsunami Indonesia hampir semuanya berada pada daerah yg tingkat populasinya sangat padat. Daerah-daerah ini sering merupakan pusat aktifitas serta sumber pendapatan masyarakat serta negara, dan menjadi pusat pencurahan dana pembangunan. Namun ketika bencana gempa dan tsunami itu terjadi maka usaha-usaha pembangunan yg sudah dilakukan akan hilang dan lenyap dalam waktu yang sangat singkat dan bersifat katastropik.

IAGI sebagai organisasi profesi dan masyarakat ilmiah perlu memberikan pendapat ilmiah dari sisi ilmu kegeologian dan cabang ilmu geologi yang terkait.

1. Kejadian serupa dengan gempa Aceh sangat mungkin terjadi di sebelah selatan dari rangkaian zona penunjaman yang sekarang menjadi pusat gempa dalam hitungan seminggu, sebulan, setahun, atau 10 tahun kedepan; artinya dapat sewaktu-waktu terjadi dalam skala waktu geologi. Untuk itu kita tidak boleh hanya menunggu, kita semua harus

proaktif melakukan mitigasi, pemantauan, pembangunan sistim peringatan dini, dan sosialisasi-sosialisasi SEKARANG JUGA.

2. Bencana gempa bumi Aceh ini merupakan salah satu gejala alam yg "wajar" terjadi untuk daerah yg memiliki kondisi geologi yg kompleks ini. Namun perlu diketahui bahwa peramalan gempa bumi dan tsunami dari segi sains adalah yang paling sulit dilakukan dibanding dengan gunung meletus, longsoran tanah, dan banjir. Dengan kajian geologi, bencana ini bukanlah hal yg tidak dapat diramalkan, namun rentang waktu

ketidak tentuan terjadiannya mempunyai derajat ketidak pastian cukup besar. Akurasi peramalan terjadinyapun berkisar dari 10-50 (?) tahun, sehingga yang perlu dilakukan adalah selalu bersiap diri untuk mengalaminya (keep on alert!!).

3. HARUS disadari penuh oleh masyarakat serta pemerintah Indonesia bahwa kita hidup didaerah yg rawan bencana alam. Juga perlu disadari bahwa bencana alam itu hampir selalu datang tiba-tiba. Dengan demikian bangsa Indonesia HARUS pandai menyiasati cara-cara hidup berdampingan dengan kondisi alam yg rawan bencana tersebut. Contohnya: Jepang dan California, mereka dapat hidup maju di daerah rawan bencana, tetapi mereka bisa menyiasati bencana tersebut sehingga meminimalkan jumlah

korban dan kerugian setiap kali bencana datang. Dalam hal ini kewaspadaan ("keep on alerted") lebih berguna daripada prediksi.

4. Kesadaran serta kesiapan menghadapi bencana alam ini seharusnya dapat dimiliki oleh masyarakat melalui sosialisasi pengenalan kondisi lingkungan geologi serta kesiapan dalam menghadapi bencana alam di lingkungannya. Hampir semua bencana ini di awali dengan gejala-gejala yg perlu diketahui oleh masyarakat sehingga ada kesempatan untuk dapat menghindarinya. Misalnya: surutnya muka air-laut yg tidak wajar (secara tiba-tiba) setelah terasa gempa merupakan tanda-tanda akan datangnya tsunami.

5. Gempa bumi dan tsunami, seperti halnya gunung meletus, longsoran tanah, dan banjir adalah peristiwa geologi yang dari waktu kewaktu terjadi di seluruh muka bumi sebagai keniscayaan tanpa ada manusia yang dapat mencegahnya. Karena ada aktifitas manusia di daerah yang mengalami peristiwa geologi tersebut, maka timbulah BENCANA. Mitigasi

bencana dan tindakan-tindakan antisipasinya adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam geologi.

6. Selain kondisi kritis sesar-sesar atau patahan sumatra ini, gempa ini sering juga menjadi pemicu atau "trigger" aktifitas gunung api (ingat "ring of fire" dr Sumatra - Jawa - Nusa Tenggara) yang tentu saja memicu dan memacu gejala-gelaja katastropik yang lain2nya (domino effect). Efeknya mungkin memang tidak akan "instant" (tidak dalam orde harian) tetapi sangat mungkin mengakselerasi dan mengubah status-status gunung api, kelongsoran dsb. Artinya harus ada evaluasi ulang tentang status kerawanan bencana di daerah-daerah ini.

7. Perlu "political will" pemerintah untuk segera memprioritaskan program mitigasi bencana alam geologi khususnya gempa dan tsunami, pembangunan sistim peringatan dini, dan sosialisasi, latihan-latihan tindakan penyelamatan manusia dalam bencana tersebut.

8. Implikasi dari "political will" pemerintah adalah alokasi biaya/anggaran untuk melaksanakan program-program mitigasi, pemantauan, sistim peringatan dini, dan sosialisasi2. Apabila pemerintah tidak mampu secara materi, jangan ragu-ragu atau malu-malu untuk meminta bantuan luarnegeri; demi keselamatan ribuan dan bahkan puluhan ribu nyawa bangsa Indonesia yang beresiko mengalami bencana. Bantuan ini dapat berupa kerja sama peneltian ilmiah, peralatan peringatan dini ataupun dana untuk sosialisasi ke masyarakat yg rawan terhadap bencana ini.

9. RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) HARUS BENAR-BENAR disesuaikan dengan kondisi daya dukung alam termasuk potensi kebencanaan daerah. Pemda-pemda, DPRD-DPRD, LSM, dan masyarakat luas HARUS mengontrol benar-benar penerapan prinsip-prinsip pembangunan dan pengembangan wilayah daerah rawan bencana. Saat ini masih sering dijumpai RTRW di daerah-daerah yang sama sekali tidak memperhitungkan hal tersebut. Tsunami sebagian besar memakan korban bukan karena gempa yang memang belum terpantau secara seksama melainkan karena ketidak pedulian kita akan konsep tataruang pantai/teluk, pemetaan bathymetric wilayah dan tidak adanya pemasangan alat pantau dini alun panjang yang terintegrasi.

10. Pemerintah sampai saat ini belum mampu mengeluarkan building codes dan peraturan keselamatan bangunan berdasar zonasi kegempaan. Hal ini akibat dari kurangnya kesadaran/pemahaman sehingga riset kearah ini tidak pernah mendapat kesempatan yang proporsional untuk dilakukan. Di kalangan para pakar (selain konsep diskusi partial/ tidak melibatkan tenaga ahli secara komprehensif) sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai zonasi yang bisa diterima semua fihak.

Pembalakan Liar Membuat Sumatera Rawan Bencana Alam

Aksi pembalakan liar yang marak terjadi saat ini membuat pulau Sumatera menjadi salah satu daerah di Indonesia yang rawan bencana alam.

Pembalakan liar merupakan salah satu bentuk kegiatan ekstrem yang berdampak terjadinya bencana alam di Indonesia, kata Ketua tim Standar Sistem Manajemen Keadaan Darurat, John Mountanio, dalam sebuah pelatihan di Jambi, Selasa.

Selain John Mountanio yang merupakan aktifis salah satu LSM di Amerika Serikat, dalam pelatihan itu juga hadir Kapolda Jambi, Brigjen Pol Budi Gunawan beserta staf jajarannya.

Pelatihan sistem manajemen keadaan darurat tersebut merupakan bentuk kerjasama Polri dengan Departemen Hukum Amerika Serikat yang diteruskan ke beberapa Polda di Indonesia.

Dalam pelatihan itu John mengatakan, bentuk bencana alam yang sering terjadi di Sumatera adalah banjir, longsor dan kebakaran lahan/hutan, untuk itu perlu adanya latihan manajemen penanganan bencana alam tersebut.

Jambi daerah yang rawan terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor hampir di seluruh kabupaten/kota, namun yang kerap terjadi longsor di Kab. Kerinci, Merangin dan Sarolangun.

Polri sebagai salah satu ujung tombak dalam membantu mengatasi pasca terjadinya bencana alam diharapkan dapat berperan penting yang untuk itu perlu diadakannya pelatihan seperti ini.

Bekal pelatihan ini dapat memberikan pelajaran dan pengalaman secara teori bagi anggota polisi dan masyarakat dalam membantu saat dan pasca terjadinya bencana alam di setiap daerah.

Sementara itu Kapolda Jambi, Brigjen Pol Budi Gunawan mengatakan, seluruh anggota polisi harus siap menanggulangi terjadinya musibah bencana alam.

Peserta pelatihan standar sistem manajemen darurat selama dua hari yang digelar Polda Jambi adalah dari kalangan anggota polisi, Dinas Pemadam kebakaran dan Dinas Kesbanglinmas. ( ant ).

Makalah Bencana Alam

Tugas Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :

Tya Yudistyana

Defvi Ikawati

Yossi Yohana

Santi Wulandari

Megawati

Kelas : XI IPS 2

SMA NEGERI 1 CIAWIGEBANG

2009-2010