Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

jumlah pengunjung hari ini

Kamis, Januari 29, 2009

Pancasila Sebagai Alat Pemersatu

Pancasila Sebagai Alat Pemersatu

oleh joglosemar pada 18-07-2008

Para pendiri bangsa ini sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus alat pemersatu. Namun seiring perjalanan waktu nilai-nilai luhur yang diejawantahkan dalam lima butir silanya perlahan pudar. Pancasila tak ubahnya sebuah simbol tanpa makna. Benarkah Pancasila masih menjadi alat pemersatu, berikut petikan wawancara dengan anggota Kelompok Kerja Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Robertus Robert.

Pancasila sebagai nilai dasar negara dalam kondisi sekarang, Anda masih yakin sebagai alat pemersatu bangsa?
Tidak ada nilai atau entitas lain untuk mempersatukan bangsa kita selain Pancasila. Secara historis, dilihat dari segi kemunculannya, terlepas dari penggunaan dia sebagai suatu ideologi, sebagai suatu cara pandang, Pancasila merupakan penanda berdirinya negara Republik Indonesia modern. Dengan demikian, kalau kita mendelegasikan Pancasila itu sebenarnya mendelegasikan pendirian republik kita. Pada titik ini, pendirian negara kita sebagai suatu bangsa diikat oleh Pancasila. Kalau kita menolak Pancasila, berarti menolak pendirian kita sebagai suatu bangsa. Dia nyaris memiliki fungsi absolut sebagai pengikat, penanda negara kita.
Negara kita terdiri dari berbagai agama dan budaya. Bagaimana ke depan Anda melihat dari beberapa peristiwa, seperti FPI dan FBR, juga beberapa kasus lain. Adakah satu kemunduran yang Anda lihat?
Paling tidak kita melihat ada dua hal. Pertama dari gejala-gejalanya. Dari kekerasan komunal, kemunculan politik identitas yang berbasis primordial, kesukuan, itu menandakan kita kehilangan visi kebersamaan sebagai bangsa. Sebenarnya visi kebersamaan ini sudah diselesaikan oleh para pendiri bangsa kita dengan satu konsensus yaitu Pancasila. Kalau sekarang ini muncul kecenderungan-kecenderungan untuk menonjolkan golongan sendiri, kecenderungan untuk menancapkan satu ideologi yang tunggal, mau mengatasi kelompok-kelompok yang lain, atau pemandangan sempit yang bersifat primordial. Ini bukan hanya kemunduran, dari segi historis tersebut sudah mengancam keberadaan kita sebagai bangsa.
Dari beberapa hal yang Anda sampaikan, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ini akibat lemahnya sistem penegakkan hukum dan perekonomian yang tidak merata. Ini menjadi salah satu pemicu. Anda setuju soal itu?
Ada beberapa faktor yang sangat kompleks, selain dari segi kelompok-kelompok politik yang mempunyai aspirasi kemutlakan. Cuma di sini ada persoalan. Ketika reformasi berlangsung kita melakukan dekonstruksi kepada Orde Baru. Di era Orde Baru itu memang banyak sekali Pancasila digunakan sebagai alat untuk melegitimasi politik. Pada titik reformasi mendekonstruksi Orde Baru, Pancasila pun turut didekonstruksi sebenarnya. Padahal Pancasila-nya sendiri tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah penggunaan politik Orde Baru terhadap Pancasila. Ini juga melahirkan suatu situasi yang melemahkan gagasan Pancasila sebagai satu visi kebersamaan. Di luar yang lain, praktik-praktik Orde Baru seperti menindas kelompok miskin, menindas kelompok-kelompok buruh, memang menjadikan Pancasila seolah-olah bertentangan dengan segi-segi kerakyatan, kemaslahatan umum. Tapi di sinilah kita perlu kembali. Kita perlu merestorasi dan menggali segi-segi azali-nya dari Pancasila. Di situ kita temukan orientasi atau kesatuan etis dari bangsa kita. Pancasila memang tidak memberikan langkah-langkah yang rinci, tapi memberikan orientasi untuk menancapkan kemanusiaan, memperluas demokrasi, bersikap luhur.
Kalau saya tidak salah menyimpulkan, seperti yang Anda katakan, di zaman Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai tameng untuk melakukan suatu kebijakan. Untuk ke depan, hal-hal seperti itu masih mungkin terjadi atau tergantung dari sistem pemerintahan sekarang?
Kita memasuki masa demokrasi. Pancasila itu merupakan suatu wawasan. Artinya, pancasila masih mungkin digunakan secara politik untuk keperluan-keperluan penguasa. Tetapi untuk sekarang saya kira untuk menggunakannya akan ada banyak tantangan. Yang lebih relevan untuk kita bicarakan mengenai Pancasila sekarang adalah bahwa Pancasila sebagai suatu visi kebersamaan dinilai lemah. Yang lebih dikhawatirkan, kalau kita mau concern di situ adalah bukan tafsiran otoritarian atau penggunaan politik dari Pancasila, tetapi lebih bagaimana kita menghidupkan kembali Pancasila ini untuk melindungi bangsa kita sebagai satu kesatuan etis.
Pancasila harus tetap dan tegak. RUU APP tidak boleh. Apa orang DPR tidak mengerti?
Sebagai anak bangsa, kalau kita melihat dengan jernih kemunculan Pancasila, Pancasila ini sebenarnya ada untuk menjamin keselamatan kita sebagai satu bangsa yang beraneka ragam. Asumsinya benar-benar pragmatis walaupun kemudian kemunculan-nya di filosofikan dan diideologikan. Pancasila menjamin keberadaan suatu republik yang memang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, adat dan kebudayaan. Kalau sekarang ada RUU APP yang menurut saya mempunyai asumsi totalitas kehidupan sosial, kehidupan budaya, di bawah satu pemikiran keagamaan tertentu saja, menurut saya ini sangat bertolak belakang dengan sejarah pendirian republik kita dan konsensus kita ketika berdiri sebagai bangsa. Di situ sebenarnya letak persoalannya. Persoalannya bukan pada anti pornografi atau tidak, seluruh bangsa Indonesia anti pornografi. Tetapi didalam RUU APP itu bukan pengaturan pornografi yang kental, tetapi totalisasi dari kehidupan dunia publik di bawah satu rezim moral yang tunggal.
Dan itu sebagai aspirasi bisa dikatakan sah-sah saja. Menurut Anda ke depan apa yang menjadi dorongan itu dapat terjadi? Dari dukungan terhadap RUU APP?
Menurut saya kita harus melihat persoalan ini secara jernih. Pornografi adalah persoalan di negara-negara di dunia. Pornografi itu bukan monopolinya negeri-negeri kapitalis dan liberal. Di negara-negara yang bukan kapitalis pun, seperti di RRC, negeri-negeri komunis, bahkan di negeri-negeri di Timur Tengah pun ada. Bukan melulu kemerosotan negeri-negeri demokrasi. Kalau kita mau berkonsetrasi melindungi akhlak atau pikiran anak cucu kita, mari kita berkonsentrasi pada aturan-aturan yang memang bertujuan untuk itu.
Jangan kita punya pretensi untuk membangun keseragaman berpikir.